Pemimpin Hebat Tak Butuh Kursi, Tapi Jejak yang Diikuti

Pernahkah kita berhenti sejenak, lalu bertanya pada diri sendiri: untuk apa sebenarnya jabatan itu ada? Apakah sekadar simbol kekuasaan, atau ruang untuk menunjukkan siapa yang paling berkuasa? Atau jangan-jangan, kita lupa bahwa jabatan sejatinya hanyalah titipan?

 

  1. Jabatan adalah Sebuah Titipan

Ya, jabatan adalah titipan. Maka sebagaimana titipan, ia harus dijaga dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Tidak digunakan semaunya, apalagi disalahgunakan. Kita hanya sedang memegangnya sebentar, sampai nanti Tuhan—melalui waktu dan keadaan—mengambilnya kembali. Seperti kata pepatah Jawa, “ojo dumeh”, jangan merasa paling berkuasa hanya karena diberi amanah sementara. Menjaga titipan berarti berusaha sebaik-baiknya selama masih diberi kepercayaan. Bukan untuk dipamerkan, tapi untuk dimanfaatkan bagi kebaikan banyak orang. Karena setiap titipan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

 

  1. Tak Perlu Dipertahankan Mati-Matian

Sayangnya, tidak sedikit yang kemudian tergoda. Jabatan yang sejatinya titipan, diperlakukan seolah-olah hak milik pribadi. Lalu muncullah segala cara untuk mempertahankan posisi—bahkan dengan cara yang tak pantas. Padahal jabatan itu bisa diambil kapan saja, bahkan dalam keadaan yang paling tak terduga. Seorang tokoh bijak pernah berkata, “Kekuasaan yang tidak mau pergi dengan kehormatan, akan dipaksa pergi dengan kehinaan.” Kita harus selalu ingat: tak ada yang abadi, termasuk jabatan. Maka, mempertahankan jabatan dengan segala cara justru menunjukkan bahwa kita tak memahami esensinya sebagai titipan.

 

  1. Setiap Orang Ada Masanya, Setiap Masa Ada Orangnya

Zaman berganti, orang datang dan pergi. Itulah siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. “Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya.” Jabatan bukan sesuatu yang kekal. Ia hanya mampir sebentar, lalu berpindah ke tangan yang lain. Oleh karena itu, seorang pemimpin sejati tidak perlu gusar ketika masanya berakhir. Ia akan pergi dengan tenang karena tahu telah menjalankan amanah dengan baik. Bahkan ia akan bangga melihat orang lain meneruskan perjuangan yang telah ia mulai.

 

  1. Pemimpin yang Baik Menyiapkan Pengganti

Salah satu ciri pemimpin yang baik adalah sudah menyiapkan penggantinya, bahkan sebelum ia turun dari jabatannya. Pemimpin yang visioner tidak akan membiarkan tongkat estafet kosong. Ia sadar bahwa perjuangan harus terus berjalan, meskipun ia tidak lagi berada di garis depan. Kita bisa menilai keberhasilan seorang pemimpin bukan hanya dari apa yang ia capai, tapi dari seberapa siap kader yang ia bentuk. Sebab kepemimpinan sejati tidak membangun ketergantungan, tetapi kemandirian. Dan tidak melahirkan pengikut, tapi penerus.

 

  1. Sukses Adalah Ketika Bawahan Ikut Naik Derajat

Pemimpin sukses bukan yang membuat dirinya semakin tinggi, tapi yang mampu mengangkat orang-orang di sekitarnya. Mengangkat martabat karyawan, menciptakan kesejahteraan, dan membangun semangat kerja yang sehat. Sebab kekuatan sejati bukan terletak pada seberapa cepat kita berlari, tapi sejauh mana kita bisa mengajak orang lain ikut berlari bersama. Ada pepatah Afrika yang sangat terkenal: “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.” (Jika ingin cepat sampai, pergilah sendiri. Tapi jika ingin tumbuh besar dan jauh, maka berjalanlah bersama.) Pemimpin yang baik tahu betul, bahwa tidak ada kesuksesan yang bisa diraih sendirian. Maka ia akan membesarkan orang lain sambil terus memperbaiki dirinya sendiri.

 

  1. Pemimpin Adalah Teladan

Pemimpin bukan hanya tentang mengatur, tapi tentang menjadi tauladan. Perilaku pemimpin adalah cermin bagi bawahannya. Jika pemimpin santun, jujur, dan bertanggung jawab, maka nilai-nilai itu akan menular ke karyawan atau pegawainya. Kita tak bisa berharap karyawan bekerja dengan integritas, jika pemimpinnya sendiri penuh siasat dan kepentingan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan: “Karyawan yang baik lahir dari pemimpin yang bijaksana.” Satu keteladanan bisa lebih berharga daripada seribu perintah. Karena teladan tidak hanya didengar, tapi juga dirasakan dan ditiru.

  Jabatan itu singgah, bukan tinggal. Ia datang dengan amanah, dan pergi meninggalkan nama baik atau penyesalan. Maka selama kita diberi kesempatan, mari gunakan jabatan itu untuk melayani, bukan dilayani. Untuk memberdayakan, bukan memperalat. Karena pada akhirnya, bukan jabatan yang membuat kita mulia, tapi apa yang kita lakukan selama menjabatlah yang akan diingat orang sepanjang masa. "Yang paling besar dalam kehidupan adalah dapat berdiri sendiri, sanggup berdiri tegak walaupun tidak mendapat pujian dari orang."Buya Hamka  

Penulis Andi Budi Setiwan

 

Scroll to Top