ANTARA BAMBU RUNCING DAN LARAS PANJANG TERSELIP KATA MERDEKA

Agustus 1945 – Di medan perang itu, suara bambu runcing menembus udara tak bergeming, bersaing dengan dentuman laras panjang yang mengaing. Satu sederhana, satu mematikan. Satu diukir oleh tangan-tangan pejuang yang lahir dari rakyat yang penuh harap, satu dirakit di pabrik baja dengan mesin-mesin perang di bawah tangan-rangan pasukan.

Namun sejarah mencatat, bukan besi yang menentukan, melainkan jiwa yang menggerakkannya. Ini bukan sekadar perang senjata, melainkan perang antara tekad dan doa melawan logam baja dan strategi jitu.

Para pejuang tak menghafal peta komando, tak punya gudang amunisi dan senjata api, tak punya kendaraan berupa tank atau yang lainnya, tapi mereka punya keyakinan yang tak retak meski diterpa ketakutan.

Malam-malam mereka diisi sujud panjang, pagi-pagi mereka berangkat dengan dada lapang. Senjata di tangan mereka mungkin rapuh, tapi hati mereka keras bagai baja yang tak tergoyahkan.

Kemerdekaan yang kita genggam hari ini adalah anugerah dari Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa… Tanpa ridha-Nya, bambu runcing hanyalah sepotong kayu, dan keberanian hanyalah nyala api yang cepat padam.

Namun dengan izin-Nya, kayu itu menjadi tombak yang menusuk pasukan kolonial, dan keberanian itu menjadi cahaya yang membelah gelapnya era penjajahan.

Mereka yang gugur di medan perang tidak pernah memikirkan dirinya. Mereka berjalan ke garis depan dengan satu niat tulus dan suci: kata “Merdeka” untuk anak cucu.

Jiwa dan raga mereka adalah persembahan, darah yang mereka tumpahkan adalah janji bahwa kelak generasi penerus dapat menghirup udara kebebasan, belajar tanpa ancaman, beribadah tanpa larangan, dan bekerja membangun negeri sendiri.

Tak ada harta yang mereka bawa pulang, hanya nama yang dikenang abadi dalam untaian doa generasi berikutnya.

Kesaktian mereka lahir dari hati yang putih seperti kertas, keberanian semerah darah, dan lisan yang senantiasa terjaga. Mereka sakti karena ucapan mereka selaras dengan perbuatan. Mereka adalah manusia yang jika berkata “A”, maka “A” yang dilakukan—tak bergeming meski maut mengintai.

Dari keselarasan ucapan dan perbuatan itulah lahir kekuatan yang membuat doa-doa mereka menembus langit. Sekali mereka meminta pada Allah, bumi pun ikut merunduk memberi jalan.

Kini, saat kita berdiri di peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI dengan tema Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju, kita memanggul warisan itu di pundak kita.

Persatuan yang mereka rajut dengan darah harus kita jaga. Harapan yang mereka titipkan harus kita rawat. Dan langkah yang mereka mulai harus kita teruskan.

Sebab kemerdekaan bukan akhir perjuangan—ia adalah janji yang harus kita bayar dengan menjaga negeri ini tetap tegak, maju, dan bermartabat. Andi BS.

 

Scroll to Top